Senin, 27 Juli 2015

ACM ICPC World Final 2015 - Morocco (Bagian 3)

Daftar bagian tulisan:

Hari 7

Hari ini sudah tidak ada agenda resmi dari ICPC. Karena kita sudah jauh-jauh ke Afrika, Pak Denny sudah booking tur ke gurun Zagora. Kami akan naik mobil bersama seorang supir dari Marrakesh ke Zagora (~260 km), kemudian naik unta ke lokasi kemah (di padang pasir), melihat matahari terbenam, berkemah, tidur, melihat matahari terbit, naik unta lagi ke jalan raya, lalu pulang ke Marrakesh.

Kami bangun 06.00, siap-siap sarapan. Sambil siap-siap, saya membaca soal OSN hari 2. Rasanya senang karena 2 soal buatan saya keluar pada hari ke-2 ini :)
Soal saya yang tidak keluar merupakan soal tersulit. Jadi ternyata tim juri OSN tahun ini masih punya belas kasihan >:)

Untuk sarapan, saya makan sebanyak yang saya bisa dan menikmati croissant terakhir. Berikutnya kami checkout, dan naik mobil tur. Pengemudi kita bernama Mohammed, dan Bahasa Inggrisnya bagus. Sepanjang perjalanan kami berbincang-bincang dengan Mohammed seputar Maroko dan Indonesia.

Croissant dan pain au chocolat :"

Merencanakan strategi perang

Saya sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang geologi di Maroko. Ternyata kami akan melewati pegunungan Atlas untuk menuju ke Zagora. Sepanjang perjalanan, kami bisa melihat pegunungan Atlas dan melewati beberapa gunungnya. Pemandangannya sangat bagus, dan saya mendeskripsikannya sebagai "majestic". Warna tanahnya adalah merah di lapisan bawah, cokelat muda di lapisan atas, dengan pepohonan berwarna hijau dan langit biru. Kadang-kadang, terlihat puncak pegunungan Atlas yang ditutupi salju. Warna merah-cokelat-hijau-putih-biru ini sangat kontras dan memberikan pemandangan yang sangat indah.


Gambar-gambar yang cocok untuk desktop

Struktur "mesa" seperti di Sim City

Kami juga turun di beberapa lokasi untuk ke WC dan berfoto. Untuk mempermudah, Mohammed memberi kita nama alias yang agak maksa, yaitu Madani (Pak Denny), Ali (Gozali), Omar (Ammar), dan Mustafa (Pusaka). Mohammed menjelaskan kami tentang suku Berber, suku yang tinggal di Maroko bahkan sejak sebelum orang Arab datang. Salah satu tempat yang kita jelajahi adalah lokasi perumahan peninggalan dari orang Berber, yaitu Aid Ben Haddou. Lokasinya di bukit, dengan sungai mengalir di sekitarnya. Perbukitan ini ditempati rumah-rumah berwarna cokelat kemerahan, dibuat dari lumpur sungai yang dicampur jerami. Di puncak bukit, terdapat lumbung hasil pertanian. Kami naik ke atas, dan berfoto-foto. Pemandangan dari atas sangat indah. Saya mengambil beberapa fotonya. Sayangnya di sini sangat panas, dan cukup melelahkan untuk naik ke atas.

Ait Ben Haddou, kita menuju ke lumbung padi di puncak

Pemandangan dari atas

Lumbung padi di puncak

Pemandangan di sudut lain

Kemudian perjalanan dilanjutkan. Sepanjang perjalanan saya tidak berani minum banyak air, takut sering ke WC. Saya hanya minum untuk membasahi bibir, berhubung di sini udaranya sangat kering. Akibatnya, saya agak kehausan sepanjang perjalanan. Saya berharap untuk cepat sampai di kemah, supaya bisa minum air dan ke WC sesuka hati.

Pemberhentian berikutnya adalah kota Quertzaza, kota yang sangat tenang. Di sini kami makan siang. Makan siang ini cukup mahal, yaitu 110 Dh atau Rp 165.000,00. Ternyata memang biaya hidup di Maroko mahal, jauh daripada Indonesia. Untuk kopi di warkop, harganya 10 Dh atau Rp 15.000,00. Bandingkan dengan warkop Indonesia yang hanya Rp 3.000,00 !

Tetapi cukup sepandan, kami mendapat 3 course lunch berupa makanan pembuka, makanan utama, dan penutup. Kami memesan sup untuk makanan utama dan Tajine untuk makanan utama. Sup yang diberikan adalah sup sayur, berwarna kemerahan dan beberapa batangan lunak di dalamnya. Rasanya enak, seperti krim yang agak asin dan asam. Tajine ayam yang saya pesan juga cukup enak. Untuk makanan penutup, diberikan biskuit kacang, semangka dan melon. Makan semangka di cuaca panas begini sangat menyegarkan.

Tajine ayam, dengan buah zaitun yang asin

Kami melanjutkan perjalanan panjang ini. Saya mulai tertidur di perjalanan. Pada perjalanan, kami bertemu rekan kerja Mohammed yang juga bernama Mohammed. Ia pernah tinggal di Malaysia, dan sedikit berbincang-bincang tentang rendang, nasi ayam, nasi goreng, dan provinsi di Indonesia. Biasanya kalau di Indo, orang yang bernama Muhammad memperkenalkan diri dengan nama belakangnya, misalnya Muhammad Saiz akan memperkenalkan diri dengan nama "Saiz". Tapi di sini kami heran mengapa mereka memperkenalkan diri dengan nama "Muhammad". Pak Denny bertanya, "how do people call you if there are multiple Mohammed?". Jawabannya sambil senyum-senyum "Mohammed", dan saya semakin bingung :))

Bayangan perbukitan yang memberi pemandangan majestic

Banyak ditemui struktur bukit seperti ini

Sepanjang perjalanan banyak "rambu sapi"

Setelah melewati 5 jam perjalanan, kami sampai di Zagora. Kami turun untuk membeli botol minuman dan sedikit makanan.

Selanjutnya kami sampai di "pemberhentian unta". Banyak unta yang sedang duduk, dengan wajah mereka yang menurut saya agak lucu. Kami berkenalan dengan pemandu berikutnya, yang bernama Abraham. Abraham membantu saya meletakkan tas ransel di unta, dan meminta saya naik untanya. Begitu saya naik, untanya langsung berdiri. Ternyata unta sangat tinggi, saya seperti berdiri lebih tinggi 1,5 meter. Wah ini pencapaian saya, yaitu pertama kalinya menunggang binatang.

Kalau kata Soko "we are ready to serve you, master"

Unta yang bekerja dalam mode auto-pilot

Sesuai yang pernah saya baca, naik unta tidak nyaman. Bantingan yang terasa saat unta melangkah cukup besar, seperti naik mobil di jalan yang bergelombang. Namun saya tetap menikmati pengalaman baru ini, sambil mengamati langit yang biru cerah tanpa awan. Kami juga melihat 2 orang ICPC yang ikut tur ini, yang ternyata orang Cina yang kuliah di Amerika Serikat. Kami mengobrol jauh-jauhan sambil naik unta. Oh ya, unta saya agak aneh, suka mengendus-ngendus Ammar yang kebetulan untanya di depan unta saya.

Dataran yang kami lewati mulai memasuki gurun pasir. Tadinya tanah gersang, kini mulai bermunculan gundukan pasir. Sampai akhirnya kita tiba di kemah, yang dikelilingi gurun pasir. Kalau kata Soko, kemah ini seperti di Skyrim. Gurun ini tidak benar-benar seperti gurun yang gersang. Masih ada tetumbuhan, gundukan batu, dan sedikit tanda-tanda kehidupan. Setibanya di kemah, unta diperintahkan untuk duduk kembali dengan perintah "uichs". Kami turun dari unta, dan menaruh barang di tenda. Karena matahari sudah hampir terbenam, kami segera menuju puncak suatu gunung pasir yang cukup tinggi untuk melihat terbenamnya matahari. Menaiki gunung pasir ini sangat melelahkan, karena ketika menginjakkan kaki, kaki kita jeblos ke dalam pasir, sehingga untuk mengangkat kaki yang tertimbun pasir dan melangkah menjadi berat.

Udara mulai dingin, dan setelah ngos-ngosan kami tiba di puncak gunungnya. Kami berfoto yang banyak dan menikmati momen sampai matahari terbenam. Setelah itu, langit masih cukup terang dan kami menjelajahi sedikit pegunungan pasir dan bebatuan. Tentu saja ini adalah pertama kalinya saya ke gurun, dan menikmati suasana yang belum pernah saya rasakan ini. Pasirnya sangat halus, seperti debu. Terdapat banyak batu-batu yang membentuk gua. Kami sempat ingin melihat guanya, tetapi khawatir ada binatang buas di dalamnya. Memang benar juga, bisa jadi ada ular di dalamnya. Saya juga khawatir di antara pasir-pasir ini ada kalajengking, undur-undur, atau tarantula yang sedang "burrowing".

Matahari terbenam

Di puncak struktur sand dune cukup tinggi (foto oleh Pak Denny)

Waktu menunjukkan 20.15, dan kami kembali ke kemah. Kami minum teh dan makan kacang bersama turis lainnya. Kami ngobrol dengan peserta WF dari US tersebut, tentang perkembangan peserta dari Asia dan bertapa rindunya saya dengan nasi. Kami juga ditunjukkan oleh Abraham tempat makan dan WC. WC-nya dibuat dari keramik, ada air panas dan kloset. Untuk tempat makan, bentuknya seperti tenda yang besar dan terlihat seperti "tenda kepala suku".

Struktur kemah (foto oleh Pak Denny)

Makan kacang dan minum teh

Kami pergi ke "tenda kepala suku" dan makan malam. Makanan yang disajikan adalah salad, tajine kalkun, dan buah-buahan penutup. Tajine ini enak, terutama wortel dan kentangnya. Saya menikmati makan malam ini. Acara berikutnya adalah campfire, dengan permainan musik dan tarian dari para Berber Nomad. Dari sini saya menyadari bahwa Abraham dan teman-temannya ternyata adalah para Berber Nomad, mungkin seperti sand bender di film Avatar Aang.

Bagian dalam "tenda kepala suku" (foto oleh Pak Denny)

Ketika keluar tenda makan malam, langit sudah gelap dan langitnya bertaburan BANYAK BINTANG. Melihat langit penuh bintang bertaburan merupakan impian saya, dan saya sangat senang bisa menikmati hal ini. Sambil menunggu langit lebih gelap lagi (supaya lebih banyak bintang), kami bergabung dengan turis lain untuk bermusik dan berdansa dengan para Berber Nomad.



Langit sudah gelap, dan kami pergi ke belakang tenda. Pak Denny bereksperimen untuk mengambil foto langit penuh bintang ini, sambil kami melihat-lihat bintangnya. Soko melihat bintang jatuh, dan saya tidak melihatnya. Kata Soko bintang jatuhnya sangat cepat, tiba-tiba langsung muncul dan hilang". Saya teringat bahwa Abraham pernah berkata bahwa kita bisa melihat "shooting star". Tidak lama kemudian Ammar juga melihatnya. Dengan demikian saya menyadari bahwa kejadian bintang jatuh itu tidak sejarang yang saya kira. Setelah Pak Denny sukses mengambil foto langit ini, kami berfoto-foto sampai puas dan kembali ke kamar. Saya tidak bisa mengambil foto dengan kamera hp, karena belum cukup canggih untuk mengambil foto langit malam.

Banyak bintang! (foto oleh Pak Denny)

Saya pergi ke kamar mandi untuk keramas, lalu kembali ke tenda. Terlihat bahwa Ammar dan Soko sudah berbaring hampir tidur di kasur tenda. Karena saya masih ingin menikmati bintang dan melihat bintang jatuh, saya mengambil jaket, headphone, dan keluar tenda untuk berbaring di kursi panjang dan melihat langit. Setelah bersabar, akhirnya saya melihat bintang jatuh! Ada yang seperti tiba-tiba muncul segmen garis berwarna putih, lalu langsung hilang. Ada juga yang tiba-tiba muncul sebuah bintang, bintangnya bergeser, lalu hilang dalam waktu sekitar 1 detik. Saya senang sekali bisa melihat fenomena ini, dan akhirnya salah satu mimpi saya terwujudkan.

Saya kembali ke tenda untuk tidur, tetapi tidak bisa tidur karena suara ngorok tenda sebelah sangat keras. Akhirnya saya keluar lagi, melihat bintang sampai ngantuk dan kedinginan, baru kembali ke tenda untuk tidur.

Hari 8


Hari ini saya bangun sekitar 5.45 karena dibangunkan Pak Denny. Kami keluar dan mendaki gunung pasir untuk melihat matahari terbit. Seperti biasa, pendakian ini sangat melelahkan. Akhirnya kami tiba di tempat yang pas, dan menanti matahari terbit di antara pegungungan. Melihat matahari muncul sedikit demi sedikit pada celah pegunungan (layaknya gambar anak TK tentang 2 gunung dan 1 matahari) sangat menarik. Saya menikmati momen ini sampai matahari terlihat seutuhnya di atas pegunungan.

Bersiap untuk matahari terbit

Matahari terbit!

Foto tampan (foto oleh Pak Denny)

Kami turun gunung dan kembali ke kemah, kemudian sarapan (kalau kata Abraham "brefkest") di "tenda kepala suku". Sarapan ini terdiri dari roti-roti keras, roti croissant cokelat yang saya suka (tetapi tidak seenak yang di hotel), selai, keju, dan berbagai pilihan minuman. Saya makan sekenyangnya dan minum secukupnya.

Mengapa orang ini tidur di luar???

Kami packing, dan kembali naik unta. Kali ini pinggang saya agak sakit, seakan-akan naik rodeo. Perjalanan dengan unta pun berakhir dan kami berpisah dengan Abraham.

Kami kembali bertemu dengan Mohammed, dan memulai perjalanan pulang ke Marrakesh. Karena kurang tidur, saya tidur di mobil. Kami melewati rute yang sama dengan saat pergi ke Zagora, sehingga tidak banyak tempat pemberhentian. Pemberhentian kami adalah di restoran lokal untuk makan siang. Kata Mohammed, tempat ini adalah tempat makan Tajine yang enak, dengan daging domba. Mereka juga menyajikan Kefol, semacam bakso panggang Maroko. Saya makan Tajine domba, dan rasanya memang benar-benar enak. Rempahnya benar-benar gurih, dan dagingnya lembut. Efek sampingnya adalah rasa rempahnya masih berasa di tenggorokan saya, bahkan setelah 6 jam berlalu.

Restoran non-turis, El Hadika

Tajine Domba, tajine terenak selama saya di Maroko

Kami tidak lagi mengunjungi tempat pemberhentian yang direkomendasikan Mohammed, berhubung ingin mengejar penerbangan dari Marrakesh ke Casablanca (19.00).

Kami tiba di bandara Menara pukul 16.00, dan berpisah dengan Mohammed. Ternyata, penerbangan yang seharusnya kita gunakan dibatalkan! Penerbangan dipindah ke 21.30, yang artinya kita akan tiba di Casablanca sangat telat. Pak Denny berusaha memikirkan solusi lain, seperti refund biaya penerbangan untuk menggunakan jalur darat ke Casablanca (sekitar 3 jam), atau menyewa mobil, dsb. Namun setelah dipikirkan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dan trade-off energi & waktu & biaya, diputuskan kita tetap menggunakan pesawat. Jadinya kita memiliki waktu sampai 21.30 untuk melakukan berbagai aktivitas.

Menjelang 21.00, belum ada tanda-tanda pesawat akan diberangkatkan. Kami menanti di ruang tunggu dan tidak ada pengumuman apapun terkait pesawat yang akan kita naiki. Informasi baru ada pukul 21.50, dan kami langsung naik ke pesawat. Saya sudah sangat mengantuk, berhubung kemarin kurang tidur. Begitu sampai di pesawat, saya langsung tidur. Saya bangun hanya untuk minum jus jeruk, supaya kebutuhan vitamin terpenuhi.

Sampai jumpa, Marrakesh

Kami tiba di Casablanca pukul 23.00, sepertinya karena pesawatnya ngebut. Bandaranya sudah sangat sepi, dan sebenarnya kami mempertimbangkan untuk pergi ke hotel atau menginap di bandara saja. Keputusannya adalah pergi ke hotel, karena lebih aman dan bisa mandi. Kami mengambil bagasi, dan langsung naik taksi super ngebut ke hotel Ibis. Selesai check in hotel, saya pergi ke kamar dan online setelah 2 hari tidak menggunakan internet.

Hari 9

Alarm saya bunyi, artinya sudah 05.15. Kami siap-siap untuk berangkat pukul 06.00 ke bandara lagi, untuk naik pesawat ke Paris.

Kami naik taksi yang harganya harus ditawar seperti mau naik bajaj/ojek di Indonesia. Skenarionya adalah:

"Pak, mau ke Bandara. Berapa?"
"Biasa, 500 ribu"
"Wah mahal amat, dari bandara ke sini aja 300 ribu"
"Lain dek, dari sini jalannya muter dan macet, bener deh. Kalo mau pas deh 450 ribu"
"Ya udah kalo gitu naik angkot aja deh" (jalan menjauh)
"Eh dek.. dek ya udah deh 300 ribu, sini ayok"

Kami sampai di bandara Mohammed V, sarapan croissant, dan menghabiskan uang Dirham berhubung ada kebijakan tidak boleh ada uang Dirham yang keluar dari Maroko. Setelah melalui beberapa jam penerbangan, kami sampai di Paris dan bersantai di kursi chillin'. Pikiran-pikiran mengenai skripsi mulai menghantui saya.

Kursi chillin'

Penerbangan berikutnya adalah dari Paris ke Singapura, baru Singapura ke Jakarta. Saya sudah mulai lelah dengan penerbangan-penerbangan ini dan rasanya ingin cepat sampai rumah saja. Beruntungnya AirFrance yang kita naiki kali ini memiliki layar hiburan yang canggih. Layarnya seperti tablet Windows yang modern. Berhubung saya bawa headset sendiri, saya bisa menonton film dan mendengarkan musik dengan nyaman.

Tablet canggih

Main Battleship

Main kuis milioner

Suasana malam

Berkat layar hiburan yang canggih, penerbangan lama ini jadi tidak terlalu membosankan. Kami sampai di Singapura, lalu lanjut penerbangan ke Jakarta. Tiba di Jakarta sekitar 17.00, dan kami berpisah satu sama lain. Hal yang pertama saya lakukan adalah makan nasi yang banyak!

Penutup

Dari perjalanan panjang ini, saya juga mempelajari beberapa life hack dari Pak Denny:
  1. Berhubung banyak transit, hindari aksesoris logam yang menempel di tubuh. Misalnya ikat pinggang atau jam tangan. Kalau harus memakai ikat pinggang, cari yang kepalanya berbahan plastik.
  2. Sediakan tas kecil, pinggang atau slempangan. Masukkan semua barang logam/umum lainnya seperti jam tangan, dompet, passport, dsb. Jadi kalau masuk ke mesin pemindaian, tidak perlu lepas-lepas jam tangan atau dompet lagi.
  3. Gunakan celana berkantong banyak untuk menampung barang sementara, terutama ketika penerbangan.
  4. Cache peta lokal tempat tujuan di google maps. Tapi mungkin saja tidak bisa di-cache.

Pengalaman pergi ke WF untuk kedua kalinya merupakan pengalaman sekali seumur hidup. Saya senang sekali mendapat kesempatan untuk berpartisipasi di WF. Meskipun tidak mendapat peringkat yang baik, tapi semoga prestasi UI bisa terus meningkat dari tahun ke tahun.

Foto dari MyICPC

Tidak ada komentar :

Posting Komentar